Nim :10 310 534
kls : C
Ardhana, et al (2004), dari hasil survei terhadap beberapa SD di Buleleng (Bali) dan Kota Malang menemukan bahwa 80% guru menyatakan paling sering menggunakan metode ceramah untuk pembelajaran sains. Sedangkan dari pandangan siswa, 90% menyampaikan bahwa gurunya mengajar dengan cara menerangkan, 58,8% berpendapat dengan cara memberikan PR, dan 43,6% menyampaikan dengan cara meringkas, serta jarang sekali melakukan pengamatan di luar kelas. Terkait dengan temuan ini, kegiatan mengajar yang dilakukan oleh para guru tersebut merupakan aktivitas menyimpan informasi dalam pikiran siswa yang pasif dan dianggap kosong. Siswa hanya menerima informasi verbal dari buku-buku dan guru atau ahli.
Pengemasan
belajar dan pembelajaran seperti tersebut di atas dalam beberapa
tulisan (Dunlap & Grabinger, 1996; Grabinger, 1996; Goodman &
Kuzmic, 1997; Johnson, 2002; Wilson, 1996) diistilahkan sebagai
pembelajaran konvensional atau tradisional.
Freire (1999) memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber-“gaya bank” (banking concept of education).
Penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas
pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat
dan dihafal. Proses ini lebih jauh akan berimplikasi pada terjadinya
hubungan yang bersifat antagonisme di antara guru dan siswa. Guru
sebagai subjek yang aktif dan siswa sebagai objek yang pasif dan
diperlakukan tidak menjadi bagian dari realita dunia yang diajarkan
kepada mereka.
Burrowes
(2003) menyampaikan bahwa pembelajaran konvensional menekankan pada
resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk
merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan
pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan
nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran konvensional
memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2)
terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4)
tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat
sporadis. Menurut Brooks & Brooks (1993), penyelenggaraan
pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran
berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses
“meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar.
Jika
dilihat dari tiga jalur modus penyampaian pesan pembelajaran,
penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih sering menggunakan modus
telling (pemberian informasi), ketimbang modus demonstrating (memperagakan) dan doing direct performance
(memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja secara langsung).
Dalam perkataan lain, guru lebih sering menggunakan strategi atau
metode ceramah dan/atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam
kurikulum secara ketat. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program
pembelajaran dilihat dari ketuntasannya menyampaikan seluruh materi yag
ada dalam kurikulum. Penekanan aktivitas belajar lebih banyak pada
buku teks dan kemampuan mengungkapkan kembali isi buku teks tersebut.
Jadi, pembelajaran konvensional kurang menekankan pada pemberian
keterampilan proses (hands-on activities).
Berdasarkan
definisi atau ciri-ciri tersebut, penyelenggaraan pembelajaran
konvensional merupakan sebuah praktik yang mekanistik dan diredusir
menjadi pemberian informasi. Dalam kondisi ini, guru memainkan peran
yang sangat penting karena mengajar dianggap memindahkan pengetahuan ke
orang yang belajar (pebelajar). Dengan kata lain, penyelenggaraan
pembelajaran dianggap sebagai model transmisi pengetahuan (Tishman, et al., 1993). Dalam model ini, peran
guru adalah menyiapkan dan mentransmisi pengetahuan atau informasi
kepada siswa. Sedangkan peran para siswa adalah menerima, menyimpan, dan
melakukan aktivitas-aktivitas lain yang sesuai dengan informasi yang
diberikan.
Pembelajaran
yang didasarkan pada asumsi-asumsi menurut model transmisi memandang
bahwa pengetahuan terdiri dari potongan-potongan fakta (O’Malley &
Pierce, 1996). Siswa mempelajari pengetahuan atau keterampilan dari
bagian-bagian ke keseluruhan. Diasumsikan bahwa penguasaan terhadap
pengetahuan atau keterampilan yang kompleks dapat dicapai secara
langsung apabila siswa sebelumnya telah mempelajari bagian-bagian
pengetahuan tersebut (Oliver & Hannafin, 2001). Dalam kondisi ini
para siswa harus secara cepat dan seksama melalui aktivitas-aktivitas
mendengarkan, membaca, dan mencatat untuk memperoleh informasi.
Terkadang para siswa perlu juga melakukan aktivitas laboratorium
dan/atau menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan informasi tersebut.
Di sisi lain, guru berperan memproses pengetahuan dan/atau keterampilan
yang diperlukan para siswa. Terhadap pemrosesan pengetahuan atau
keterampilan tersebut, guru terkadang perlu menambahkan penguatan berupa
gambar, simbol, tabel, atau jenis yang lain sebagai sumber belajar.
Sumber belajar tersebut sebagian besar sifatnya tekstual (bukan
kontekstual).
Sumber
belajar dalam pendekatan pembelajaran konvensional lebih banyak berupa
informasi verbal yang diperoleh dari buku dan penjelasan guru atau
ahli. Sumber-sumber inilah yang sangat mempengaruhi proses belajar
siswa. Oleh karena itu, sumber belajar (informasi) harus tersusun
secara sistematis mengikuti urutan dari komponen-komponen yang kecil ke
keseluruhan (Herman, et al., 1992; Oliver & Hannafin,
2001) dan biasanya bersifat deduktif. Oleh sebab itu, pembelajaran
diartikulasikan menjadi tujuan-tujuan berupa prilaku yang diskrit. Apa
yang terjadi selama proses belajar dan pembelajaran jauh dari
upaya-upaya untuk terjadinya pemahaman. Siswa dituntut untuk menunjukkan
kemampuan menghafal dan menguasai potongan-potongan informasi sebagai
prasyarat untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang lebih
kompleks. Artinya bahwa siswa yang telah mempelajari pengetahuan dasar
tertentu, maka siswa diharapakan akan dapat menggabungkan sub-sub
pengethauan tersebut untuk menampilkan prilaku (hasil) belajar yang
lebih kompleks. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran konvensional
merupakan aktivitas belajar yang bersifat linier (O’Malley & Pierce,
1996) dan deterministik (Burton, et al., 1996).
Pembelajaran
yang bersifat linier didesain dengan kerangka kerja berupa serangkaian
aktivitas belajar dalam suatu tata urutan yang sistematis dan hasil
belajar (berupa prilaku) yang dapat ditentukan secara pasti
(deterministik) serta teramati. Beberapa prinsip yang melatar belakangi
desian pembelajaran linier adalah: (1) mengidentifikasi dan merumuskan
tujuan pembelajaran, (2) hasil belajar yang diharapkan harus terukur
serta sesuai dengan standar validitas dan reliabilitas, dan (3) desain
berorientasi pada perubahan tingkah laku pebelajar.
Berdasarkan
prinsip desain pembelajaran tersebut di atas, maka prosedur
pembelajaran konvensional yang diimplementasikan dalam penelitian ini
disusun mengikuti urutan-urutan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi
indikator keberhasilan, yang selanjutnya dituangkan menjadi tujuan
pembelajaran, (2) merancang dan menyusun isi bahan ajar konvensional
(teks ajar dan LKS), (3) merancang dan menyusun instrumen tes untuk
mengukur hasil belajar (pemahaman konsep dan ketertampilan berpikir
kritis), (4) merancang dan menyusun skenario pembelajaran, (5)
mengimplementasikan program pembelajaran, dan (6) melaksanakan evaluasi.
Implementasi program pembelajaran terdiri dari langkah-langkah, yaitu
(a) apersepsi, (b) penjelasan konsep, dengan metode ceramah dan/atau
demonstrasi, (c) latihan terbimbing, (d) memberikan balikan (feed back).
Keseluruhan pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran ini menggunakan
latar (seting) belajar diskusi kelompok-kelompok kooperatif.
Milik dan karya: I Wayan Sukra Warpala
Metode Pembelajaran Konvensional
METODE PEMBELAJARAN KONVENSIONAL
A. Pendahuluan
Metode mengajar adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar
yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur. Pengertian lain
adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau
menyajikan bahan pelajaran pada siswa di dalam kelas, baik secara
individual maupun secara kelompok. Agar pelajaran itu dapat diserap,
dipahami dan dimanfaatkan oleh siswa dengan baik.Belajar mengajar sebagai suatu kegiatan, seiring dengan adanya makhluk manusia di muka bumi ini, sejak semula kegiatan belajar mengajar ini telah dilakukan oleh manusia bahkan dalam batas-batas tertentu juga hewan, dalam upaya membimbing anak keturunannya agar berhasil dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
B. Pembahasan
1. Pengertian Metode Pembelajaran
Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan kemampuan, ketika berfikir informasi dan kompetensi apa yang dimaksud oleh siswa, maka pada saat itu juga kita semestinya berfikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efesien. Ini sangat penting untuk dipahami oleh setiap guru, sebab apa yang harus dicapai akan menentukan bagaimana cara mencapainya. Seorang guru dituntut untuk menguasai metode pembelajaran yang dilakukannya akan dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari nilai proses pembelajarannya adalah hasil belajar yang optimal atau maksimal.[1]
Banyak defenisi mengenai metode pembelajaran ini yang dijumpai dalam berbagai literatur Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, mendefenisikan “jalan yang harus diikuti untuk memberikan kefahaman bagi peserta didik segalam macam pelajaran dalam segala mata pelajaran”.
Dari berbagai defenisi mengenai metode pembelajaran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan dalam kalimat pendek bahwa metode ialah jalan atau cara-cara yang digunakan pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.[2]
2. Metode Pembelajaran Konvensional
Salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvesional. Pembelajaran konvensional mempunyai beberapa pengertian menurut para ahli, diantaranya:
- Djamarah (1996), metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.
- Freire (1999), memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber “gaya bank” penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal.[3] 3. Ciri-ciri Pembelajaran Konvensional
- Siswa adalah penerima informasi secara pasif, dimana siswa menerima pengetahuan dari guru dan pengetahuan diasumsinya sebagai badan dari informasi dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan standar.
- Belajar secara individual
- Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis
- Perilaku dibangun atas kebiasaan
- Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final
- Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran
- Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik
- Interaksi di antara siswa kurang
- Guru sering bertindak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
- Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain
- Menyampaikan informasi dengan cepat
- Membangkitkan minat akan informasi
- Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan
- Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.
- Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan
- Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari
- Para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu
- Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas
- Daya serapnya rendah dan cepat hilang karena bersifat menghafal.[4] 4. Ciri-ciri Umum Metode yang Baik
- Berpadunya metode suatu tujuan dan alat dengan jiwa dan ajaran akhlak islami yang mulia.
- Bersifat luwes, fleksibel dan memiliki daya sesuai dengan watak siswa dan materi siswa pada kemampuan praktis.
- Bersifat fungsional dalam menyatukan teori dengan praktik dan mengantarkan siswa pada kemampuan praktis.
- Tidak mereduksi materi tapi bahkan mengembangkan materi.
- Memberikan keleluasaan pada siswa untuk menyatakan pendapatnya.
- Mampu menempatkan guru dalam posisi yang tepat dan terhormat dalam keseluruhan pembelajaran.[5] 5. Pendekatan Pembelajaran Konvensional
Sedangkan menurut Philip R. Wallace, pendekatan pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi muri-muridnya.
- Perhatian kepada masing-masing individu atau minat sangat kecil
- Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
- Penekanan yang mendasar adala pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolak ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa terabaikan.[6]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaklumi sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.[7]
Seorang guru dituntut untuk menguasai berbagai model-model pembelajaran, dimana melalui model pembelajaran yang digunakannya akan dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari proses pembelajarannya adalah hasil belajar yang optimal atau maksimal.
Memang, model pembelajaran konvensional ini tidak harus kita tinggal, dan guru mesti melakukan model konvensional pada setiap pertemuan, setidak-tidaknya pada awal proses pembelajaran dilakukan. Atau kita memberikan kepada anak didik sebelum kita menggunakan model pembelajaran yang akan dipergunakan.[8]
6. Macam-macam Metode
Ada beberapa macam metode yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, diantaranya:
- Metode Ceramah
- Metode Tanya Jawab
- Metode Demonstrasi
Sedangkan di karangan Prof. Dr. Made Pidarta, demonstrasi adalah suatu alat peraga atau media pengajaran yang dipakai bermacam-macam bergantung kepada materi yang akan didemonstrasikan.[11]
- Metode Kerja Kelompok
- Metode Karyawisata
Kemudian, jika dilihat secara garis besarnya, metode mengajar dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni:
- Metode mengajar konvensional
- Metode mengajar inkonvensional
7. Tujuan Metode Pengajaran
Untuk menguraikan tujuan metode pengajaran, dikemukakan oleh Omar Muhammad Al-Taumy yang dikutip Ramayulis sebagai berikut:
- Menolong pelajar untuk mengembangkan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sikapnya.
- Membiasakan siswa menghafal, memahami, berfikiran sehat, memperlihatkan dengan tepat, mengamati dengan tepat, rajin, sabar dan teliti dalam menuntut ilmu.
- Memudahkan proses pengajaran itu bagi pelajar dan membuatnya mencapai sebanyak mungkin tujuan yang diinginkannya.
- Menciptakan suasana yang sesuai dengan pengajaran yang berlaku, sifat percaya-mempercayai dan hormat-menghormati antara guru dan murid serta hubungan baik antara keduanya.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi. Abu, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Pustaka Setia, 2005.Pidarta. Made, Cara Belajar Mengajar di Universitas Negara Maju, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Rostiya, Didaktik Metodik, Jakarta: Bina Aksara, 1989.
Usman. Basyiruddin, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Wijaya. Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, 2008.
www.goegle.co.id,http://iyasphunkalfreth.blogspot.com / 2010 / 06 / perbandingan metode pembelajaran. htlm.
www.gogle.co.id,http://sunartobs.wordpress.com/2009/03/02.
www.google.co.id.http//warpalah edukasi. Kompasiana.com/2009/12/20.
www.google.co.id.http://forum.um.ac.id/index.php.
Yusuf. Tayar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Keefektifan Model Pembelajaran Piaget dan Yang Konvensional
terhadap Kemampuan Komposisi
Naratif Bahasa Bali
pada Siswa Kelas IV dan VI
SD 1 Sangsit di Sawan
Oleh
I Dewa Putu Raka Rasana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan model pembelajaran Piaget terhadap kelompok eksperimen dan model pembelajaran
konvensional terhadap kelompok
kontrol dalam menulis komposisi naratif bahasa Bali
di SD 1 Sangsit kecamatan Sawan,
kabupaten Buleleng. Yang menjadi subjek
dalam penelitian ini adalah semua siswa
kelas IV A yang berjumlah 20 orang
sebagai kelompok kontrol, semua siswa kelas IV B yang berjumlah 20 orang sebagai kelompok eksperimen, semua
siswa kelas VI A yang berjumlah 23 orang sebagai kelompok eksperimen, dan semua
siswa kelas VI B yang berjumlah 23 orang
sebagai kelompok kontrol.
Berdasarkan proses pelaksanaan penelitian,
instrumen penelitian telah
diujicobakan pada 161 siswa kelompok Piaget dan 161 siswa
kelompok konvensional di empat SD di kecamatan Sawan. Sebelum perlakuan
diberikan pada 86 siswa SD 1 Sangsit tersebut,
mereka diberikan prates untuk
mengetahui kemampuan awal mereka. Perlakuan
diberikan dalam 7 kali pertemuan yang dilakukan oleh guru kelas setelah
ia diberikan pelatihan tentang cara-cara
menerapkan model pembelajaran Piaget. Mereka diberikan 7 kali perlakuan dan perlakuan-perlakuan tersebut dianggap
sebagai latihan. Setiap perlakuan yang diberikan didasarkan pada rancangan
pembelajaran yang telah dibuat baik untuk kelompok Piaget di kelas IV dan VI maupun kelompok konvensional di
kelas IV dan VI. Hasil yang diperoleh berupa skor pascates yang diberikan oleh
3 interraters dan dianalisis dengan
ANOVA dua jalur. Penskoran dilakukan berdasarkan kriteria penilaian yang
diberikan oleh McKeough dan Case.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) model pembelajaran Piaget lebih efektif dibandingkan model pembelajaran konvensional
terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali, (2) prestasi belalajar
siswa yang berusia 10 tahun tidak berbeda dari yang berusia 12 tahun, dan
(3) tidak ada interaksi antara model
pembelajaran dengan tingkat usia terhadap prestasi belajar dalam menulis komposisi nartif bahasa Bali.
Kata-kata
kunci: keefektifan, model pembelajaran,
komposisi naratif
ABSTRACT
This study aimed at finding out the effectiveness of
the use of Piaget’s learning
model
towards the experimental group and
conventional learning model towards the
control group in writing narrative
composition in Balinese language at elementary school 1 in Sawan
district, Buleleng regency. The subjects were all the fourth year students of class IVA consisting of 20
persons as control group, all the fourth year students of class IVB consisting
of 20 persons as experimental group, all the sixth year students of class VIA
consisting of 23 persons as experimental group, and all the sixth year students
of class VIB consisting of 23 persons as control group.
Based on the
implementation process of the research, the research instrument had been tried
out in 161 students of Piaget’s group and 161 students in conventional group at
4 elementary schools in Sawan district. Before the treatment given to 86 students at elementary school 1 in Sangsit, they were given pretest in order
to know their entry behavior. The treatments were given in 7 sessions done by a
class teacher after she had been given a training about the ways of applying
Piaget’s learning model. They had been given
7 treatments and the treatments
were considered as a training. Every given treatment was based on the made learning plan for Piaget’s group and
conventional group in class IV and VI. The results gained in the research were
in the forms of score given by 3 inter-raters and they were analyzed by the use
of Two Way ANOVA. The scoring done in
the research was based on the scoring criteria given by McKeough and Case.
The research result showed that (1) Piaget’s model of teaching was more effective than the conventional
model of teaching towards the learning
achievement of Balinese narrative composition, (2) the learning achievement of
the ten year old student was not
different from that of the twelve year old one, and (3) there was
no interaction between the models of teaching with the
chronological age towards the learning achievement of Balinese
narrative composition.
Key
words: effectiveness, learning model,
narrative composition
1. Pendahuluan
Model
pembelajaran konvensional sampai saat ini masih banyak digunakan dalam
pembelajaran komposisi naratif bahasa
Bali di Provinsi Bali. Penerapan model pembelajaran tersebut
ditandai dengan pemberian informasi, dilanjutkan dengan tanya jawab, pemberian
tugas oleh guru, pelaksanaan tugas oleh siswa, sampai pada akhirnya guru merasa
bahwa apa yang telah diajarkan dapat dimengerti oleh siswa (Putrayasa, 2001).
Siswa bersifat pasif. Ceramah mendominasi kegiatan belajar mengajar yang
menekankan hafalan (ingatan) tersebut (Sulaeman, 1988). Akibatnya, terjadi
kemerosotan prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut, diperlukan model pembelajaran yang secara optimal dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam menulis komposisi naratif bahasa Bali.
Model
pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran Piaget. Model pembelajaran Piaget
adalah model pembelajaran yang didasarkan pada teori perkembangan
kognitif Piaget yang di dalamnya mengandung
sintaks (syntax), prinsip-prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem dukungan. Sintaks
adalah urutan kegiatan (tasks) yang diberikan guru, agar terjadi konflik
kognitif dan inkuiri. Prinsip-prinsip
reaksi berfokus pada kegiatan
(tasks) yang membentuk perilaku melalui rewarding, memelihara sikap netral , dan sikap yang nonevaluative. Sistem dukungan merupakan fasilitas di luar kemampuan
dan kapabilitas guru. Hal ini
menyebabkan siswa secara aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam
kegiatan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Piaget, tahap
kegiatan belajar berlangsung dalam 2 kegiatan inti. Kegiatan pertama adalah
sebagai berikut: (1) Guru menyampaikan tujuan belajar, (2) Siswa aktif
melakukan diskusi, saling membantu, dan kerja sama untuk memahami narasi yang
mengandung masalah dan pemecahannya setelah diberikan gambar dan teksnya oleh
guru, dan (3) Siswa didorong bertanya kepada guru, apabila siswa tersebut tidak
mendapatkan jawaban yang tepat dari teman sejawat. Kegiatan kedua adalah
sebagai berikut: (1) Siswa ditugaskan menulis narasi yang mengandung masalah
dan pemecahannya secara individual berdasarkan topik dan gambar yang berbeda dari topik dan gambar yang
diberikan dalam kegiatan pertama dan (2) Siswa diberikan waktu secara singkat
untuk melakukan perbaikan.
Atas
dasar itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui keefektifan kedua model
pembelajaran tersebut dengan menerapkan model pembelajarn Piaget dalam kelompok eksperimen dan model
pembelajaran konvensional dalam kelompok kontrol dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai
berikut: (1) apakah model pembelajaran Piaget dan model pembelajaran
konvensional memberi keefektifan yang
berbeda terhadap prestasi belajar kmposisi naratif bahasa Bali, (2)
apakah siswa yang berusia 12 tahun memperoleh prestasi belajar komposisi
naratif bahasa Bali yang berbeda dibandingkan dengan siswa yang berusia 10
tahun, dan (3) apakah ada interaksi
antara model pembelajaran dengan tingkat usia terhadap prestasi belajar
komposisi naratif bahasa Bali?
Berdasarkan
tujuan penelitian tersebut, hipotesis-hipotesis penelitian yang diuji adalah
sebagai berikut: (1) Terdapat perbedaan antara siswa yang diajar melalui model pembelajaran Piaget dan model pembelajaran konvensional terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa
Bali, (2) Terdapat perbedaan prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali antara yang diperoleh siswa berusia
10 tahun dan yang 12 thun, (3)
Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat usia
terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali.
2. Metode Penelitian
2.1 Subjek Penelitian
Penelitian
dilakukan di SD 1 Sangsit,
Kecamatan Sawan. Jumlah siswa yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 86
orang yang terdiri dari: (1) 20 orang di kelas IV A sebagai kelompok kontrol,
(2) 20 orang di kelas IV B sebagai kelompok eksperimen, (3) 23 orang di kelas
VI A sebagai kelompok eksperimen, dan (4) 23 orang di kelas VI B sebagai
kelompok kontrol.
2.2 Variabel Penelitian
Variabel
dalam penelitian ini terdiri dari 1 variabel bebas, yakni model pembelajaran
dengan 2 dimensi variabelnya, yakni model pembelajaran Piaget dan model
pembelajaran konvensional, 1 variabel moderator, yakni usia, dan 1 variabel
tergantung, yakni prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali.
2.3 Rancangan Penelitian
Sejalan
dengan pengujian 3 hipotesis penelitian, maka rancangan eksperimen faktorial (2
X 2) digunakan untuk menguji ketiga hipotesis tersebut sekaligus yang ditunjukkan dalam tabel 3.1 berikut:
Tabel
3.1: Rancangan Eksperimen Faktorial
Keterangan: P = perlakuan P1= model
pembelajaran Piaget P2 = model
pembelajaran
Konvensional U = usia
U1 = siswa kelas IV yang berusia
10 tahun
U2
= siswa kelas VI yang berusia 12 tahun
2.4 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Hal-hal
yang berkaitan dengan instrumen penelitian adalah sebagai berikut: (1) prates
dan pascates, (2) uji coba instrumen, (3) validitas instrumen, dan (4) realibitas instrumen. Data ini
dikumpulkan melalui teknik tes. Tes yang digunakan adalah prates dan pascates.
Berdasarkan
proses pelaksanaan penelitian, instrumen penelitian telah diujicobakan pada 161
siswa kelompok Piaget dan 161 siswa kelompok konvensional di empat SD. Sebelum
perlakuan diberikan pada 86 siswa di SD 1 Sangsit tersebut, mereka diberikan prates untuk mengetahui
kemampuan awal mereka. Perlakuan diberikan dalam 7 kali pertemuan yang
dilakukan oleh guru kelas setelah ia
diberikan pelatihan tentang cara-cara menerapkan model pembelajaran Piaget.
Mereka diberikan 7 kali perlakuan dan perlakuan-perlakuan tersebut dianggap
sebagai latihan. Setiap perlakuan yang diberikan didasarkan pada rancangan
pembelajaran yang telah dibuat baik untuk kelompok Piaget di kelas IV dan VI
maupun kelompok konvensional di kelas IV dan VI. Hasil yang diperoleh berupa
skor diberikan oleh 3 interraters. Kemudian mereka diberikan pascates. Hasil
pascates juga berupa skor yang diberikan 3 penilai. Penskoran dilakukan
berdasarkan kriteria penilaian yang diberikan oleh McKeough dan Case (1986).
Sebelum pengujian hipotesis-hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan
ANOVA dua jalur, uji normalitas data terhadap skor pascates, dan uji
homogenitas varians perlu dilakukan untuk mengetahui apakah data tersebut
berdistribusi normal atau tidak dan varians populasi dalam penelitian ini sama
atau tidak.
2.5 Teknik Analisis Data
Komposisi naratif yang telah dibuat siswa
dianalisis dengan menggunakan panduan penilaian sebagai berikut:
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan
proses pelaksanaan penelitian, instrumen penelitian perlu diujicobakan dan uji
coba instrumen itu dilakukan pada empat SD, yakni SD 4 Sangsit, Sd 8 Sangsit,
SD 1 Jagaraga, dan SD 3 Jagaraga yang melibatkan 161 kelompok Piaget dan 161
kelompok konvensional. Ternyata hasilnya valid
(memiliki bukti pendukung validitas construct dan isi) dan reliable. Bukti
pendukung validitas construct
bersumber dari tes yang digunakan yang berupa bentuk tugas atau kegiatan (tasks) yang diminta oleh tes tersebut kepada mereka yang sedang
mengerjakan tes itu. Bukti pendukung validitas isi dapat dilihat dari cakupan
aspek yang dinilai dalam komposisi naratif
bahasa Bali yang ditulis siswa
cukup beragam yang meliputi penyampaian masalah, pemecahan masalah,
hambatan yang ditemukan dalam pemecahan
masalah, dan pernyataan psikologis. Reliabilitas tersebut didasarkan
pada perhitungan statistik dengan bantuan komputer yang hasilnya ternyata > 0,70.
Hasil
uji normalitas data skor pascates untuk semua kelompok menunjukkan bahwa skor berdistribusi normal. Hasil uji varians juga menunjukkan bahwa varians populasi dalam
penelitian ini mempunyai varians yang sama di antara anggota kelompok.
Pengujian hipotesis-hipotesis penelitian dengan menggunakan ANOVA dua jalur
dengan bantuan komputer dan ringkasan hasilnya terlihat pada tabel 3.3 berikut:
Tabel
3.3 Ringkasan Hasil ANOVA Dua Jalur
Prestasi Belajar Komposisi Naratif Bahasa Bali
Sumber Varians Jk db Rjk F Sig.
Antar A 90,047 1 90,047 132,295 0,000
Antar B 0,40 1 0,40 0,59 0,808
Inter AB 0,53 1 0,53 0,79 0,780
Terjelaskan 90,140 3 30,047
Sisa 55,813 82 0,681
Total 145,953 85 1,717
Keterangan:
Jk = jumlah kuadrat db =
derajat kebebasan Rjk = rata-rata
kuadrat
A = model pembelajaran B = usia
Isi tabel
1 mendukung keputusan statistik yang diambil dari analisis data prestasi
belajar komposisi naratif bahasa Bali yang konsisten mengenai keefektifan antar
A dengan kesimpulan sebelumnya. Model pembelajaran (antar A) menunjukkan bahwa
rasio F adalah signifikan dengan F 132,295 (p < 0,05), sedangkan antar B
ditemukan tidak signifikan dengan F 0,59 (p > 0,05). Rasio inter AB (F =
0,79) juga ditemukan tidak signifikan. Dengan demikian , Ho pertama ditolak,
sedangkan Ho kedua dan ketiga diterima.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah model pembelajaran Piaget berbeda
keefektifannya terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali jika
dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Prestasi belajar komposisi
naratif bahasa Bali juga teruji tidak berbeda yang disebabkan oleh perbedaan
usia. Kesimpulan lainnya adalah tidak ada interaksi antara model pembelajaran
dengan tingkat usia terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali.
Artinya, model pembelajaran Piaget lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran
konvensional terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali pada siswa
kelas IV dan VI.
3.2 Pembahasan
Model Pembelajaran Piaget versus Model Pembelajaran
Konvensional
Dari
hasil pengujian hipotesis-hipotesis penelitian, diperoleh bukti bahwa perolehan
belajar atau prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali siswa yang
mengikuti model pembelajaran Piaget
berbeda secara signifikan dengan prestasi belajar komposisi naratif
bahasa Bali siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Hal ini
berarti bahwa model pembelajaran Piaget lebih efektif dibandingkan dengan model
pembelajaran konvensional terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa
Bali pada siswa kelas IV dan VI. Temuan ini mendukung sepenuhnya temuan
penelitian Mckeough dan Case (1986) yang menyimpulkan bahwa kemampuan siswa
dalam menulis komposisi naratif dapat
ditingkatkan melalui penerapan teori perkembangan intelek Piaget. Temuan ini
juga sebagian besar mendukung temuan
Wittrock (1978) yang menyimpulkan bahwa siswa yang dibelajarkan dengan
menerapkan aspek kognitif yang lebih tinggi cenderung reflektif, berpikir lebih
lama sebelum menjawab pertanyaan peneliti, mengabaikan hal-hal yang tidak
relevan dan secara relatif mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak.
Di samping itu, temuan ini juga mendukung temuan Kamii dan De Vries dalam Joyce
dan Weil (1996) yang menyimpulkan bahwa
program yang didasarkan pada teori perkembangan intelek Piaget dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada anak.
Menurut
Hudojo (1990), Piaget mengatakan bahwa tahap-tahap berpikir itu adalah pasti
dan spontan, namun umur kronologis yang diberikan itu adalah fleksibel,
terutama selama masa transisi dari periode satu ke periode berikutnya. Umur
kronologis itu dapat saling tindih. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis
penelitian, ternyata usia tidak memberi
pengaruh terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali, yakni
prestasi belajar yang diperoleh siswa
yang berusia 12 tahun ternyata tidak berbeda dari yang diperoleh
siswa yang berusia 10 tahun. Temuan ini cenderung mendukung pendapat Piaget
yang disampaikan oleh Hudojo (1990) tersebut.
Hasil
pengujian hipotesis tersebut juga
menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara model pembelajaran dengan
tingkat usia terhadap prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali. Interaksi
adalah kerja sama dua variabel bebas atau lebih dalam mempengaruhi suatu
variabel tergantung. Interaksi terjadi jika
suatu variabel bebas memiliki efek-efek yang berbeda terhadap suatu
variabel tergantung pada berbagai tingkat dari suatu variabel bebas lainnya.
Dalam penelitian ini terungkap bahwa tidak ada interaksi. Ini berarti bahwa model pembelajaran bekerja sendiri-sendiri
dalam mempengaruhi prestasi belajar.
4. Penutup
Bertitik
tolak dari hasil analisis dan pembahasan di atas, kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik
dari hasil pengujian hipotesis-hipotesis penelitian adalah sebagai
berikut: (1) Model pembelajaran Piaget
lebih efektif dibandingkan dengan
model pembelajaran konvensional terhadap
prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali pada siswa kelas IV dan VI, (2)
prestasi belajar komposisi naratif
bahasa Bali siswa yang berusia 12 tahun
tidak berbeda dari prestasi belajar komposisi naratif bahasa Bali siswa yang berusia 10 tahun,
dan (3) tidak ada interaksi antara model
pembelajaran dengan tingkat usia
terhadap prestasi belajar
komposisi naratif bahasa Bali.
Dalam kasus ini, model pembelajaran Piaget lebih baik daripada model pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan
hasil analisis dan pembahasan di atas,
maka disarankan hal-hal sebagai
berikut: (1) Kepada guru SD disarankan menerapkan model pembelajaran Piaget
sesuai dengan langkah-langkah yang dianjurkan sebagai salah satu model
pembelajaran alternatif untuk meningkatkan prestasi belajar komposisi naratif
bahasa Bali, (2) Kepada guru SD disarankan agar mengorganisasi kembali buku
teks komposisi naratif bahasa Bali seperti yang terlihat dalam rancangan model pembelajaran Piaget, dan (3) Aspek yang
diteliti dalam penerapan model pembelajaran Piaget dalam kegiatan pembelajaran
komposisi naratif bahasa Bali di SD terbatas pada aspek kognitif, sedangkan
aspek-aspek lain seperti aspek sikap dan moral tidak dilibatkan. Menurut Piaget,
aspek-aspek tersebut juga berpengaruh terhadap perkembangan intelek siswa.
Kenyataan ini diduga berpengaruh untuk mengurangi sumbangan optimal model
pembelajaran Piaget. Walaupun hasil pengujian hipotesis telah menunjukkan bahwa model pembelajaran Piaget secara
signifikan lebih unggul dari model pembelajaran konvensional, prestasi belajar
mungkin akan lebih tinggi lagi, apabila aspek-aspek lainnya juga dilibatkan.
Dengan demikian disarankan agar model pembelajaran Piaget diuji lagi dengan
bentuknya yang lebih lengkap, sehingga potensi optimal model pembelajaran Piaget dapat dijelaskan.
Daftar Pustaka
Ferguson, G.A. 1976. Statistical Analysis in Psychology
and Education (4th ed).
Montreal:
McGraw Hill Book Company.
Ginsburg, H., & Opper, S. 1969. Piaget’s Theory of Intellectual Development
Boston:
Prentice-Hall, Inc.
Joyce, B., & Weil, M. 1972. Models of Teaching. Boston: Prentice-Hall, Inc.
Latief, M. A. 1996. Pengukuran Kemampuan Menulis
(Tanggapan terhadap
Tulisan
Ahmad Rofi’uddin pada Edisi Tahun 23, Nomor 1 Februari 1995).
Dalam Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan
Pengajarannya, 24 (1), 58-73.
Hudojo, H. 1990. Strategi
Mengajar Belajar Matematika. IKIP Malang.
McKeough, A., & Case, R. 1986. A Neo-Piagetian Analysis of Narrative Composition
and Its
Application to Instruction. Calgary: The University of Calgary
Press.
McCrimmon, J. M. 1984. Writing
with a Purpose (8th ed.). Boston: Houghton Mifflin
Company.
Putrayasa, I. B. 2001. Penerapan
Model Inkuiri dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
(Studi Eksperimen dalam Pembelajaran
Kalimat pada Siswa Kelas I SLTP
Negeri I Singaraja).
Disertasi yang tidak dipublikasikan.
Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Sulaeman, D. 1988. Teknologi/Metodologi
Pengajaran. Jakarta: PPLPTK.
Sutama, M. 1997. Perkembangan
Koherensi Tulisan Siswa Sekolah Dasar. Disertasi
yang
tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Malang.
Wittrock, M. C. 1978. The Cognitive Movement in
Instruction. Journal of
Educational Psychologist, 13 (2), 15-29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar